Allah SWT Memberi Makan, Bukan Rokok
Sampailah saya pada batasnya. Lapar membujuk untuk menoleransi prinsip saya yang ogah berhutang.
"Jangan sok hebatlah! Ulama, nabi dan para sahabatnya sekalipun pernah berhutang. Agama tak melarangnya pula. Bahkan negara pun doyan dan malah memperlakukannya seperti sebuah kebutuhan dan rutinitas harian belaka." Begitu kira-kira gerombolan cacing perut menggoda pikiran saya.
Dengan langkah muram saya berjalan ke gang belakang, menuju rumah seorang teman. Maksudnya tentu saja hendak minjam uang. Sepuluh ribu cukuplah. 5500 untuk semangkok mie ayam. Sisanya 4500. Pas sekali untuk tiga batang Dji Sam Soe.
Berharap teman saya ada di rumahnya. Dan sedang punya uang lebih. Dan semoga sudi pula untuk meminjamkannya. Sembari berdoa saya berjalan menunduk.
Tapi rencana Allah SWT kerap tak bisa diduga. Baru beberapa langkah berjalan, mata saya tertumbuk pada selembar kertas. Lebih tepatnya uang kertas. Lebih tepatnya lagi, uang kertas sepuluh ribu rupiah. Pas sekali jumlahnya dengan yang tengah saya idam-idamkan.
Dengan gemetar uang itu saya ambil. Genggam erat-erat. Saya tak bernyali masukkan ke saku baju atau celana. Takut sekali kalau uang itu akan raib ... hilang tiba-tiba.
Balik arah, saya berjalan menuju warung mie ayam yang ada dekat pasar. Sembari tetap mengenggam dan merasakan keberadaan uang tersebut dalam kepalan tangan. Dan tentu saja sambil takjub dan mengucap syukur?
Setelah makan maka bayar, donk! Tapi Allah SWT sepertinya tengah doyan bergurau dengan saya. Si Mbak Mie Ayam tak punya uang kembalian 500. Minta kerelaan saya agar 500-nya diikhlaskan lagi saja. Lagi, sebab beberapa hari yang kejadiannya seperti itu juga.
"Lima ratusnya besok aja ya, Mas! Uang kembaliannya ga ada, nih!" katanya mohon pengertian.
Tapi nilai lima ratus kemaren tidak sama dengan kali ini. Kemaren uang saya cukup bisa untuk direlakan begitu saja. Kali ini kok ya, pas banget dengan tiga batang Dji Sam Soe? Lagipula, walau cantik si Mbak Mie Ayam itu masih seperti kemaren dan senyumnya juga masih sama, saya merasakannya tak begitu.
"Modus! Mentang-mentang cakep," pikir saya kesal. Dalam hati tentunya.
Dengan getir, saya manut mengiyakan. Hari itu saya cuma bisa mengambil hikmah bahwa Allah SWT hanya memberi saya makan, bukan rokok.
Komentar
Posting Komentar